Sabtu, 17 April 2010

Sejarah Sengketa tanah Mbah Priok

TEMPO Interaktif, Jakarta -Nama
Mbah Priok tiba-tiba saja menjadi
pembicaraan setelah terjadi bentrok
antara Satuan Polisi Pamong Praja
dengan warga. Siapa sebenarnya
Mbah Priok? Mbah Prio adalah
julukan untuk Habib Hasan al-
Haddad, pendakwah agama Islam
yang hidup sekitar abad ke-18. Lelaki
ini berasal dari Palembang ini dan
diperkirakan meninggal pada 1756
dan dimakamkan di Pulau Pondok
Dayung. Dia datang dengan perahu
layar bersama tiga temannya untuk
berdakwah di pulau Jawa.
Pada 1930, kolonial Belanda
memindahkan makamnya ke
Tempat Pemakaman Umum Dobo
di Koja. Lalu pada 1987, pemerintah
memindahkan kompleks
pemakaman Dobo ke TPU Budi
Dharma di Cilincing. Satu versi
menyebutkan, kerangka jenazah
Mbah Priok dipindah pada 1997.
Namun, setelah dua tahun dipindah,
ahli waris justru membangun
kompleks makam di sana. Padahal
lahan itu milik PT Pelindo.
Versi lain, menurut arkeolog
Candrian Attahiyat memang ada
pemindahan makam secara massal
dari Dobo ke Cilincing pada 1994.
"Saat makam lain dipindah, makam
Mbah Priok dipertahankan," kata
Candrian.
Budi, pengurus makam,
mendukung pendapat Candrian.
Menurut Budi, ketika itu, setiap
pekerja yang diperintahkan untuk
membongkar makam langsung
jatuh sakit. Karena itu, tidak ada
pekerja yang berani meneruskan
pekerjaan itu. "Jadi (jenazah) Mbah
Priok masih tetap ada di sini,"
katanya di lokasi pemakaman.
Ahli waris Habib Hasan al-Haddad
mengklaim lahan pemakaman itu
adalah milik keluarga berdasarkan
verklaring nomor 1268/RB pada 19
September 1934. Pada 2001, ahli
waris menggugat PT Pelindo II
melalui Pengadilan Negeri Jakarta
Utara, tapi pengadilan tidak
menerima gugatan tersebut. Ahli
waris tidak mengajukan banding
untuk melawan keputusan itu.
Mereka tetap mempertahanan dua
bangunan yang ada di lahan seluas
5 hektare itu. Satu bangunan
berukuran 10 x 8 meter digunakan
Habib Ali Al Idrus, ahli waris
makam, sebagai tempat tinggalnya
bersama keluarga dan sekitar 20
orang santrinya. Sementara satu
bangunan lagi, berukuran 8 x 6
adalah tempat makam Habib Hasan.
Meski kalah dalam banding, ritual di
makam itu tetap terjadi. Bila ada
haul, ada sekitar seribuan orang
berkumpul dan mengaji bersama di
areal makam seluas seluas 5
hektare. Haul itu, tentu saja
mendatangkan rezeki bagi
penduduk sekitar. Mereka berjualan
mulai dari kembang, peci, mukena,
makanan sampai aneka baju.
Sengketa tanah ini makin
memuncak setelah pemilik tanah PT
Pelindo II atau Jakarta Indonesia
Container Terminal (JICT) mencoba
menggusur makam ini. Pemerintah
Jakarta Utara juga ikut mengeluarkan
surat perintah bongkar untuk
membongkar makam itu. Akhir
tahun lalu, misalnya, mereka sudah
menyegel pagar makam itu. Toh,
para peziarah tak surut. Ribuan
orang tetap berziarah dan berdoa di
sana.
Salah satu pengunjung, Rahmat
Yudi, mengatakan dia sengaja
datang ke makam tersebut untuk
ziarah dan berdoa. Dia juga
mempertanyakan penutupan
gerbang dan jalan masuk menuju
makam oleh pihak JICT.
Menurutnya, penutupan tersebut
tidak adil. "Karena ini tanah Islam.
Seharusnya dikasih jalan," kata pria
asal Bekasi itu. Rahmat juga
menyatakan keyakinannya bahwa
makam tersebut tidak akan bisa
digusur karena kekeramatannya.
"Walau presiden sekalipun, tidak
akan bisa (menggusurnya)," ujar
Rahmat. Menurutnya, dulu banyak
yang meninggal karena menggusur
makam tersebut.
Sengketa itu kemudian meledak
menjadi bentrokan Selasa, 14 April
2010. Puluhan orang terluka hanya
karena rebutan tanah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar