Sabtu, 28 Agustus 2010

Pandangan Islam mengenai Wanita Yang Suka gonta-ganti Pasangan

Barangkali ada baiknya kalau
pada pembahasan berikut ini
penulis menyebutkan beberapa
bentuk pernikahan yang sudah
membudaya di zaman jahiliah,
lalu Islam menghapuskannya.
Kemudian sebagai gantinya,
Islam mengajarkan pernikahan
yang dilangsungkan
berdasarkan “Ijab” dan
“Qabul” (serah-terima),
kesukarelaan dan pilihan
masing-masing pasangan, agar
pembaca dapat mengetahui
kedudukan rendah yang di alami
kaum wanita sebelum Islam,
dan kedudukan terhormat lagi
mulia yang mereka raih sesudah
Islam datang.
Sudah membudaya pada
masyakat Jahiliah pada saat itu
pernikahan-pernikahan berikut
ini:
Nikahul-badl, yaitu seorang
lelaki merelakan istrinya untuk
lelaki lain, agar orang lain
tersebut merelakan istrinya
kepadanya. Tujuan pernikahan
semacam ini adalah
memuaskan nafsu seksual
kaum laki-laki.
Nikahur rahth, yaitu sejumlah
laki-laki kurang dari sepuluh
orang mengauli seorang
perempuan, mereka
mencampurinya secara
bergantian dalam selang waktu
yang tidak begitu lama; setelah
itu si perempuan menolak
hubungan seks dengan mereka,
apabila ia hamil, lalu melahirkan,
maka ia memanggil semua
lelaki yang telah
mencampurinya itu kemudian ia
menentukan ayah bayi yang
baru lahir tersebut dari salah
satu di antara mereka yang ia
suka, lalu lelaki itu pun
merimanya dan nasab bayi
itupun dengan sendirinya
disahkan kepada mereka
berdua.
Nikahusy-syighar, yaitu
pernikahan yang terjadi dengan
cara, seperti seorang lelaki
berkata kepada lelaki lain: Saya
nikahkan kamu dengan putri
saya dan sebagai balasannya
engkau nikahkan aku dengan
putrimu.
Nikahul istibdha’, contohnya
adalah seorang suami
mengatakan kepada istrinya
sesudah ia bersih dari haidh,
“Datanglah kepada lelaki yang
terkenal dengan keberanian dan
kedermawanannya itu, lalu
mintalah bersenggama
dengannya”. Tujuannya adalah
agar ia memperoleh seseorang
yang mempunyai sifat seperti
sifat orang yang terkenal
dengan keberanian dan
kedermawanannya itu. Selagi si
istri belum hamil dari
hubungannya dengan laki-laki
yang dimaksud, maka sang
suami tidak akan mendekatinya.
Nikahul Khadan wash-shadaqah
(kawin selingkuh). Adalah
merupakan kebiasaan orang-
orang di masa Jahiliyah menga-
takan (kepada laki-laki):
“Sembunyi-sembunyilah (dalam
berzina) dan itu tidak apa-apa,
yang tercela adalah kalau
dilakukan secara terang-
terangan”. Maka Islam datang
mengharamkan dua bentuk
hubungan seks ini, seraya Allah
berfirman, “Dan janganlah kamu
mendekati kerbuatan keji (zina),
baik yang tampak maupun yang
tersembunyi.”
Nikahul katsrah, yaitu datang
sejumlah laki-laki kepada
seorang perempuan yang biasa
melakukan pelacuran (PSK/
pekerja seks komersial), lalu
mereka melakukan hubungan
sek dengannya, hingga apabila
si perempuan itu hamil dan
melahirkan, maka mereka pun
menghadiri si perempuan jalang
itu, lalu orang yang ahli dalam
masalah kemiripan menentukan
ayah bayi itu di antara salah
seorang mereka yang paling
mirip dengannya, maka bayi itu
ditentukan sebagai anaknya.
Dalam masyarakat modern ini
pun masih terdapat pernikahan-
pernikahan (perkawinan) yang
mirip dan sama dengan
pernikahan-pernikahan tersebut
di atas, dengan cara dan model
yang baru. Sebagai contoh, apa
yang disebut di zaman Jahiliah
dengan nikahu istibdha’ ada di
zaman kita sekarang ini, yaitu
apa yang disebut dengan
“proses pembuahan janin
secara medis” (talqih shina’iy).
Yaitu menyuntikkan sperma
laki-laki lain (bukan suami) yang
dikenal dengan kesuburannya
ke dalam rahim seorang istri
atas persetujuan dia dan
suaminya. Dan ada kalanya
penyuntikan itu berulang-ulang
beberapa kali, bahkan
adakalanya seperma pun
berasal dari beberapa orang
lelaki, dan laki-laki itu terkadang
masih ada hubungan kerabat
dengan si perempuan itu dan
ada kalanya tidak demikian.
Yang sama dengan nikahul-badl
di mana dahulu pernah ada di
dalam masyarakat Jahiliyah
adalah apa yang dikenal pada
abab modern ini dan di
masyarakat Amerika dengan
nama “saling bergantian istri”.
Gonta ganti pasangan ini dapat
tercapai dengan berbagai cara,
di antaranya adalah melalui
permainan rullete (permainan
berasal dari Italia). Ringkasnya,
dalam permainan ini beberapa
istri berkumpul dalam bentuk
lingkaran, lalu salah seorang
suami duduk di tengah-tengah
lingkaran tersebut sambil
memutar cermin ke arah
lingkaran itu, apabila cermin itu
berhenti pada salah seorang di
antara para perempuan itu,
maka si perempuan itu pun
berdiri dan pergi bersama lelaki
yang memutar cermin tadi untuk
tidur bersamanya selama satu
malam.
Di sana masih ada satu hal lagi
yang sangat mendasar di dalam
permainan gila tadi, yaitu istri si
lelaki yang memutar cermin
tidak diperbolehkan duduk
bersama para perempuan di
dalam lingkaran di saat
suaminya sedang memutar
cermin, karena dikhawatirkan
cermin berhenti menghadap
kepada istrinya sendiri, sebab
pada dasarnya si suami tidak
menghendakinya dan yang ia
kehendaki adalah istri orang
lain.
Saling bergantian istri di atas
sangat mirip dengan nikah
Mut’ah atau Nikah syighar yang
di kenal di masa jahiliyah, sebab
pembatasan waktu menggauli
istri (orang lain) dalam satu
malam itu membuatnya hampir
sama dengan nikah mut’ah;
sedangkan kerelaan
menyerahkan istri untuk digauli
oleh lelaki lain dengan syarat
istrinya direla-kan untuk
digaulinya sangat mirip dengan
nikah syighar.
Nikah Mut’ah. Bentuk pernikahan
ini tidak bertujuan kecuali
kenikamat seksual belaka, dan
itu merupakan nikah dalam
jangka waktu tertentu.
Adakalanya jangka waktunya itu
telah sama-sama diketahui,
seperti si wali mengatakan
kepada laki-laki (yang akan
menikah), “Saya nikahkan kamu
dengan putriku”, atau “saudara
perempuanku dalam jangka
waktu satu hari saja”, atau “satu
bulan saja”, atau “satu tahun”.
Dan ada kalanya tidak diketahui
jangka waktunya, seperti
seseorang mengatakan, “Aku
nikahkan kamu dengan putriku”,
atau “dengan saudariku hingga
si anu datang dari
kepergiannya”. Maka apabila
sehari atau sebulan berlalu,
sebagaimana kesepakatan, atau
si anu tadi datang dari
perjalanan jauhnya, maka kedua
pasangan sudah harus berpisah.
Islam pada awal mulanya
membolehkan pernikahan
mut’ah itu karena kondisi
tertentu, yang pada awalnya
untuk memberi kesempatan
waktu agar jiwa siap untuk
meninggalkan suatu tradisi yang
biasa mereka dilakukan
sebelum Islam. Ini adalah salah
satu metode pendekatan yang
dilakukan oleh Islam di dalam
menanggulangi beberapa
problematika sosial,
sebagaimana terjadi ketika
mengharamkan minuman keras
(khamar) secara bertahap tidak
sekaligus. Setelah jiwa mereka
siap menerima pergeseran dari
tradisi yang sudah mengakar
kuat tersubut, maka nikah
mut’ah diharamkan hingga hari
kiamat.
Abdullah bin Mas’udradhiyallahu
‘anhu menuturkan tentang hal di
atas: “Kami pernah berperang
bersama Rasulullah shallallahu
‘alaihi wasallam dan kami tidak
membawa istri, maka di antara
kami ada yang berkata,
“Mengapa kita tidak mengkebiri
diri saja?” Namun Nabi
shallallahu ‘alaihi wasallam
melarang kami akan perbuatan
itu, lalu beliau memberikan
keringanan bagi kami nikah
kontrak dengan mahar
pakaian.” (Ini adalah suatu
riwayat yang muttafaq ‘alaih).
Sesungguhnya
diperbolehkannya nikah mut’ah
itu tidak mempunyai kaedah
hukum kontinu atau abadi,
karena terdapat riwayat yang
dinukil oleh Imam Ahmad dan
Imam Muslim, bahwasanya Nabi
shallallahu ‘alaihi wasallam
telah bersabda,
إِنِّيْ أَذِنْتُ لَكُمْ فِي اْلاِسْتِمْتَاعِ مِنَ النِّسَاءِ وَأَنَّ اللهَ قَدْ حَرَّمَ ذَلِكَ إِلَى يَوْمِ ِةَماَيِقْلا، ْنَمَف َناَك ُهَدْنِع َّنُهْنِم ٌءْيَش ِّلَخُيْلَف ُهَلْيِبَس، َالَو اْوُذُخْأَت اَّمِم َّنُهْوُمْتَيتآ شَيْئًا.
“Sesungguhnya aku dahulu
pernah mengijinkan kalian nikah
mut’ah, dan sesungguhnya Allah
telah mengharamkannya hingga
hari kiamat. Maka Barangsiapa di
antara kalian yang masih
mempunyai ikatan mut’ah
dengan mereka (para
perempuan) maka hendaklah ia
membebaskannya, dan
janganlah kalian mengambil
sesuatu yang telah diberikan
kepada mereka.”
Berdasarkan hadits di atas
pengharaman nikah mut’ah
adalah pengharaman abadi
sepanjang masa, tidak ada
batas waktunya. Inilah yang
dipegang teguh oleh para Ulama
dan para ahli fiqih di seluruh
penjuru dunia, selain sekte
(agama) Syi’ah yang
berpandangan bahwa nikah
mut’ah adalah merupakan salah
satu bentuk pernikahan yang
diperbolehkan di dalam Islam,
dan ia utuh selagi prinsip-prinsip
ajaran Islam utuh. Mereka
dalam masalah ini menolak
hadits-hadits yang diriwayatkan
oleh para shahabat Nabi yang
bukan dari keluarga Nabi
shallallahu ‘alaihi wasallam,
dengan anggapan bahwa para
shahabat itu tidak adil, karena
tidak mengakui keberhakkan Ali
bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu
memegang tampuk Khilafah
sepeninggal Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wasallam.
Bentuk pernikahan seperti ini,
dalam pandangan pe-nulis, tidak
lain hanya sebagai legalisasi
dari perzinaan, dan sangat
serupa dengan praktik yang
dikenal pada zaman modern ini
dengan hubungan
perselingkuhan antara laki-laki
dan perempuan, apabila kita
menganggap bahwa pemberian
hadiyah lelaki kepada lawan
jaenisnya itu sebagai (upah)
mahar.
Semua bentuk pernikahan
tersebut di atas menunjukkan
betapa buruknya status dan
kondisi perempuan di dalam
masyarakat non muslim yang
komitmen kepada Islamnya,
juga menunjukkan, setidaknya,
tidak adanya perhatian terhadap
harkat dan martabat kaum
perempuan. Maka dari itu Islam
menghapus semua bentuk
praktik pernikahan tersebut,
sekaligus mendekralasikan
bahwa harkat dan martabat
kaum perempuan di masyarakat
yang sebenarnya tidak sejalan
dengan pelecehan yang tidak
layak bagi kaum perempuan
sebagai sosok manusia yang
seharusnya memperoleh
penghormatan dan
penghargaan. Islam mengganti
paraktik-praktik pernikahan hina
itu dengan satu bentuk
pernikahan yang mempunyai
nilai ikatan suci antara laki-laki
dan perempuan yang dibangun
di atas dasar kerelalaan, rasa
cinta dan sama-sama berupaya
untuk saling merealisasikan
kebahagiaan di antara kedua
pasangan suami-istri sepanjang
hayat; sebagaimana Allah
tegaskan di dalam firman-Nya:
وَمِنْ آيَاتِهِ أَنْ خَلَقَ لَكُمْ مِنْ أَنْفُسِكُمْ أَزْوَاجًا لِتَسْكُنُوا إِلَيْهَا وَجَعَلَ بَيْنَكُمْ مَوَدَّةً وَرَحْمَةً إِنَّ فِي ذَلِكَ لَآيَاتٍ لِقَوْمٍ يَتَفَكَّرُونَ
“Dan di antara tanda-tanda
kekuasaan-Nya ialah Dia
menciptakan untuk kamu istri-
istri dari jenismu sendiri, supaya
kamu cenderung dan merasa
tentram kepadanya, dan
dijadikan-Nya di antara kamu
rasa kasih dan sayang.
Sesungguhnya pada yang
demikian itu benar-benar
terdapat tanda-tanda bagi kamu
yang berfikir.” (Ar-Rum: 21).